Haisi ( 詩俳句 ) ke – 80
Nasib Pasar Terapung
dendang rantawan
kecipak kayuh jukung
Sungai Barito dan Sungai Martapura
memberi kehidupan warga Banjar di pesisiran
memberi kayuh pada jukung
berkayuh dalam dendang
mengisahkan bungasnya banua Banjar
dari segenap penjuru sungai jukung serupa
arwana yang berenang kemilau dibinar fajar
jukung membawa hasil pertanian
sembako dan pancarakinan menuju Pasar Terapung
ahai siapa gerangan
anak dara yang bertopi tanggui mengayuh jukung lemah
lemambut di tengah sungai
“ hampar tikar di dalam jukung siapa jua marabahinya rambut ikal
mamak di hujung siapa jua manampahinya “
eksotik tanah Banjar
Pasar Terapung
eksotik yang menjadi kebanggaan masyarakat Banjar
di kala fajar banyak
pengunjungnya berdatangan dari mana mana
Pasar Terapung cermin adat istiadat
masyarakat Banjar
tradisi yang masih dipegang teguh turun temurun
pasar yang unik masih terjadi
transaksi jual beli sistem barter
perahu
tambangan kedai makanan dan minuman dan 41 macam
wadai
di apung kecipak ombak
yang menyisir sungai riak dendang lembayung fajar :
“ bakayuh tambangan menyisih ilung mahaga nasib tumat baisukan lacit kamagrib ala sidandang “
pagi berkabut
Pasar Terapung sepi
Pasar Terapung sepi sebab jukung
jukung pada sunyi
hanyalah ilung larut di
arus banyu sanggak di ujung lanting
orang orang hanyut di arus globalisasi dan semakin berpaling
meninggalkan tradisi
bertumbuhan toko ruko swalayan supermarket moll moll
dendang ranawan jukung bakayuh di tengah
sungai fajar memancar :
“ adat asli jangan dibuang
buangakan kupakai jua paninggalan urang bahari kada lupa sampai mati “
di bawah batu
mendekam katak tua
pusar angin bertiup
kencang
pohon akasia yang ranggas daunnya berserakan di
jalanan
beterbangan membubung tinggi
dan debu serupa baling baling kabut
ribuan belalang merah di
padang ilalang serupa lelatu
gawi sabumi
mencari mata air
sumur yang dalam
di desa atau di kampung tradisi bergotong royong masih lestari
apa lagi untuk
kepentingan bersama
biarkan arus modern mengalir di era zaman
adat pusaka leluhur tiada
kan luntur
panorama semesta
desa Haruyan
dari jauh terdengar
sangat merdu mengalun puput seruling senja
mengantar mentari ke pintu
malam
desaku yang indah dan permai
Haisi ( 詩俳句 ) ke – 82
suara air
di sela bebatuan
suara air di sela
bebatuan dikeheningan pagi
surya pelan muncul di balik rerimbun daun pohon
halaban
desa Upau
mempunyai sungai tak kering walau musim kemarau
sungai dan tanah memberi kehidupan yang subur pada
Upau
cengkrama pagi
bermandi mandi
sungai Upau setiap pagi dan petang menjadi koloni dara jelita
mandi mandi dan mencuci mimpi
sungai terkadang menjadi tempat mencari jodoh para
remaja putra
larangan tak boleh dilanggar adat istiadat tetap dipegang teguh
di bebatuan
gemercik sungai Upau
teringat ibu
selagi bayi dan kanak aku dimandikan ibu di sungai
ini
sungai teman bermain
gemercik air mengalir air mata
teringat ibu
Haisi ( 詩俳句 ) ke – 83
derai gerimis
mendengar kicau murai
di dalam sangkar
jika memang aku harus
lahir kembali pada takdir
akan kualamatkan ayat ayat rindu seorang musafir
pada malam malam
paling bertabur bintang
pada
mentari paling lengser kala terbenam
langit membentang
spektrum aneka warna
menjelang sore
duduk di beranda menatap bunga
bunga
memberanak pinakkan riwayat hidup bercinta
seekor murai
lindap lembayung senja
menuju rimba
hujan
memburamkan kaca jendela
mestikah risau luluh dalam buraian rindu
berilah kicau burung di
rimba sunyi
sebelum terajal direruntuhan mimpi
Banjarbaru, 2021
Haisi ( 詩俳句 ) ke – 84
hidup_mati beriman
senandung malam
kuayun dengan
ayunan selendang bersusun tiga lapis
Hakikat tarikat dan ma’rifat
kau yang babustan
cepat pejamkanlah mata
menangis jangan
menangis beruntung bertuah
seharian orang tua
mencarikan rejeki
berpayung janur
sambut shalawat Rasul
di malam maulid
menghampar syair maulid
bersahut
dengan shalawat
Rasul
di ayunan digantungi dengan halilipan dan kembang
serai
dan ketupat guntur teman
mengantar dengkur
tebu salah dan kacang parang
penangkal hantu pulasit dan parang maya
mata yang sepat cepatlah tidur
yun ayun itaiku ayun
ayun berdendang dalam pukungan
bila besar intan bersusun
hidup beriman
mati beriman
abah jangan lama
merantau di negri orang
carikan
rejeki di jalan yang halal
ketika
senja kuning tiang rumah kami pasak dengan do’a
anak kita sudah tidur
Banjarbaru,2004
Haisi ( 詩俳句 ) ke – 85
Mungkin ini adalah suratan yang terlayang dari
ujung perbatasan waktu
Kala mata terpejam yang bangkit dari ranjang waktu
Bangkit dari sebuah mimpi yang gelisah
Sesungguhnya kau tiada pernah tahu lagi alamat
seorang musafir
Yang dahaga
setiap langkah dalam perjalanan usia
Dahaga setiap rindu di alir nafas
Surya yang telah kehilangan lembayungnya di atas
bukit putih kembang ilalang
di atas lembah pepohonan yang sunyi
di atas laut yang ombaknya membuncah
Tiada pernah letih terus juga berlengser ke ufuk
silam
Sampai puput alam semesta membuka pintu malam
Sedemikian memakna kehidupan ini jauh di lubuk
hatiku yang paling dalam
Aku pun bangkit
Dan terus berlari walau pada akhirnya mungkin
sampai pada sebuah entah
Sekujur usia yang kuyup oleh kenangan dan harapan
Meracik duka lara merajut lembaran cinta
Sebab aku lahir tanpa ibu bapa
Aku terus juga berlari di tengah hujan
“ Kau kah musafir yang datang dari sebuah negri
mimpi
selaksa rindu yang gagal bercinta ? “
Aku terus juga berlari di tengah hujan
“ Lihat ! Jejak langkah di dalam kelam malam “
terus berlari
hujan di tengah mimpi
ada rembulan
Banjarbaru, 18 Okt.2018
Haisi ( 詩俳句 ) ke – 86
di lereng bukit
memutih kembang lalang
suara anggang
Hutan kehilangan pohon lembah kehilangan sungai
dan marga satwa
entah mengungsi ke mana dan dalam gumpalan kabut
asap
ribuan suara
burung tersesat
lereng bukit
yang memutih jadi hamparan kelabu
tersebab surya entah di mana
suara mesin
pohon dan tanah runtuh
pagi yang gaduh
kau tak pernah tahu suara mesin tak ubahnya suara
bumburaya
yang membongkar kuburan dan anak sima yang
melolong mengisap darah
kau tak pernah tahu suara mesin menjadikan anak
negri terasing dari tanah kelahirannya
tanah tumpah darahnya yang porak poranda
hutan kehilangan pohon dan batu bara kehilangan
gunung
di tengah balai asap dupa kemenyan menghampar
bukit Meratus
ada seorang balian bawo mati di lalayan
suara anggang
di pohon kariwaya
banua banjir
Banjarbaru, 2021
Haisi ( 詩俳句 ) ke – 87
Kereta Api Borneo
burung pialing
di pohon kalangkala
rindu menahun
Seperti di kotakota yang maju di negara lain
Borneo pun harus mempunyai kereta api
Yang menjadikan suatu daerah mata rantai
Yang terhubung harmonis satu sama lain
Sungguh eronis dan tidak masuk akal
Bila Borneo tidak mempunyai kereta api
Sebab Borneo adalah pulau yang sangat kaya
Kekayaan hutan kekayaan bumi batu bara, minyak
Intan, emas, perkebunan, pertanian kelautan
Sungguh eronis dan tidak masuk akal
Sudah seabad lebih merdeka lepas dari kaum
penjajah
Tidak mempunyai kereta api
Dan daerah daerah masih terisolasi di sana sini
burung pialimg
terbang di
awang awang
pagi berkabut
Kereta api untuk mensejahterakan dan memakmurkan
masyarakat borneo
Bukan untuk kepentingan dan keuntungan yang lain,
ivestor asing
atau kavitalis imprialis
Tetapi untuk pembangunan Borneo
inguyan tangir
sayup di ujung lembah
dusun terpencil
Borneo bangkitlah melahirkan sumber daya manusia
Menggali dan melestarikan sumber daya alam
Bangkitlah semangatmu yang tak pernah padam
Seperti keperkasaan tempo dulu mengusir penjajah
Membangun Borneo, kalau tidak kamu, siapa lagi
Banjarbaru, 2016
Haisi ( 詩俳句 ) ke – 88
Ayat Ayat Gunung Pamaton
Adalah laksaan warna yang dituangkan ke dalam
sebuah gelas kaca.
Maka tak ada warna lain lagi yang terlihat hanya
satu warna persenyawaan yang paling padu.
Maka bacalah warna itu dengan bahasa batin.
Membaca rahasia sabda alam semesta.
alam semesta
dalam fajar memijar
ayat ayat ruh
Heiiyaaa nyipa hu ho hum. Nanahing
hyang
Kunyah matahari dan semburkan ke ufuk jagat di
mana roh roh besemanyam
Di kelenya letakan pedupaan setanggi kembang tanah
malai
Bila terbang ke langit cium sendawa dupa asap
kemenyan putih
Jagat Batara
dalam raga buana
ruh matahari
Lompati laut. Langkahi gunung kering dan rontok
seperti daun yang melayang
Jangan biarkan buah malaka pada berjejatuhan dari
pohon berakar sungsang
Ambil batu batu ampar batu batu sungai yang
mengalir diam
Lalu kita menyatu dalam sukma raga lalu kita
meletakan hidup dan kehidupan pertanda akhir
Habis itu kita kembali pulang menuju rumah ruh
tempat di mana asal untuk berpulang
pulang berakhir
puncak keabadian
heeyaaa hu ho hum
*****
Gunung Pamaton, 2016
Haisi ( 詩俳句 ) ke – 89
gelombang
dahsyat
kapal di
laut kutuk
menjadi
batu
Titik titik air dari langit langit gua adalah
titik air mata bunda
Kapal di laut luas pecah dalam gemuruh badai kutuk
Suara elang yang terbang di awan adalah tangis
bunda
Batu. Batu. Batu
batu menangis
di tengah hujan panas
batu berlumut
Hujan panas menampias ke dinding batu berlumut
Tangis dan isak di ruang liang
Tak ada lagi bersesal kebodohan dan keangkuhan
Elang sapah mengerang di awan lalu hinggap ke
angsana basah bulu kutuk
di hujan panas
airmata mengalir
batu pancuran
Banyu pancuran batu
banawa membelah tanah
Diang Ingsun ibunda elang sapah termangu layu di
ambang petang
Sembilan bulan Sembilan hari makan pucuk balaran
Angui anakku sayang kesinilah mandilah
airmataku
Kubalik malam kutumpah siang dalam bahalai kasih
sayang
Raden Panganten anguiku sayang
Elang terbang menyusup awan dan tinggal
bayangbayang
Barabai, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar