Haisi ( 詩俳句 ) ke - 30.
Di Atas Danau Nalam
Merindu
di dalam bulan
engkau kah yang terkurung
rindu mengurai
Mencemaskan langit danau mengombak senyap
Sampan yang mengapung
menatap langit
Menatap rambut perak
mengurai di atas danau
Secupak nira membasah
jiwa gelisah
jiwa gelisah
menulis rawi malam
putri rembulan
Menarilah putri
rembulan eloknya gaun pengantin
Menarilah atas nama
cinta atas namaku
Penghuni rimba yang
lama tiada lagi berburung
Petapa tujuh lapis
kenduri bulan
keduri bulan
tiap hati merindu
sepinya sunyi
Nira membuncah dalam
cupak kenduri bulan
Melunas rautmu yang bayang
membayang
Tidur manakah yang
tiada pernah mimpi gelisah
Gelisah ombak danau
diapung rindu
di apung rindu
nalam di atas danau
malam rembulan
Banjarbaru, 2016
Haisi ( 詩俳句 ) ke - 31.
Malam Itu Bulan
Rembulan
gelisah waktu
kala membuka malam
tangisan kecil
Pupus gelisah waktu saat lengking tangis
Tangis pertama
mengenal dunia pana
Malam menyulut bulan di alir airmata
Alir airmata tafakur ribuan syukur
Di altar karunia yang teramat anugerah
tetes pertama
di cahya mekar bulan
kamar berbunga
Inilah tetes darahku yang pertama
Tak habis habis kupuji asmamu
Atas nama Adam yang kau turunkan ke atas
bumi
Dan hakikat kelahiran ini kutulis pada
jejak perjalanan
Ialah merisalahkan panjang usiaku
cahya rembulan
di atas ranjang kecil
mata terpana
Aku menatap wajah cintaku
Lonjakan tangan kakimu mengajak bicara
Kerdip mata dan mungil mulutmu gairah
pesona
Aku kehabisan katakata, terpana
kssb,2016
Haisi ( 詩俳句 ) ke - 32.
Sebingkis Kado Miladmu
: Srie Astuty Asdie
buka jendela
harum aroma pagi
sebuah taman
di reranting bunga
bunga gemulai
kala angin mengusap
mekar kelopaknya
dan embun yang menetes
adalah suara ayat ayat
perjalanan usia
duduk di taman
kemilau cahya pagi
merangkai cinta
merangkai kelopak
bunga yang luruh
adalah hakikat
merangkai cinta
di mana kembali sebuah
jalan membentang
yang mesti kita tempuh
eksplorasi perjalanan
kehidupan mesti punya arti
demikian senyum
bibirmu dalam kemilau pagi :
jika kita mendaki
imprerium cinta
dan sampai mencapai
pada kulminasinya
niscaya kita tak akan
mendustakan ayat ayat itu
sebab kasih sayang
adalah inti dari cinta
mekar senyuman
dalam taman usia
harum miladmu
Banjarbaru, 2018
Haisi ( 詩俳句 ) ke - 33.
Mencuci Diri Di Montel
sore di Montel
air jatuh ke batu
gemuruh zikir
Dari atas tebing air
menerjunkan cahaya
Dan gemuruh jatuh di
batu batu
Muncrat gema zikir
dikesejukan jiwa
Zikir yang bening
zikir yang bening
menyiram tubuh fana
sore yang nikmat
Sejauh perjalanan usia
menuju akhir
Adakah makna dari ekplorasi
kehidupan
Di atas batu melepas
tubuh pana
Merenung di kedalaman
sukma
sore semadi
di alir air Montel
mencuci diri
“ Mendaki gunung Muria
:
Sepanjang jalan
melafal asmamu “
Kudus, 2015
Haisi ( 詩俳句 ) ke - 34.
Kukejar Kasih Sayangmu
kasidah hujan
merasuk dalam jiwa
diri yang fakir
Kamar menggenang keheningan yang dalam
Basah ke dalam jiwa
basah kesegenap kujur usia
Doa yang mengapung di
atasnya
Hanyut menuju arah
muara maha
alun kasidah
hujan di dalam angin
wajah tengadah
Alunan ayat
mengalunkan cinta :
Dalam renung hujan
adalah rahmat
Dalam syukur hujan
adalah nikmat
Tiada yang mesti
didustakan
tiada dusta
ayat kasidah hujan
panjatan doa
“ Tuhan di dalam hujan
Kukejar kasih sayangmu
“
Banjarbaru, 2017
Haisi ( 詩俳句 ) ke - 35
Kota Idaman
terbang di atas kota
berkabut
asap
Hilir mudik melintas
pemukiman yang padat dan gedung bertingkat
Jalan jalan lengang beruap panas
Pepohonan di tepi jalan meranggas
dan angin menghamburkan
dedaunannya ke mana mana
wanita kuning
kala fajar menyingsing
sudah menyapu
sebuah kota
warganya yang selalu
memperhatikan lingkungan
bersih dan sehat
kebersamaan dan bergotong
royong tertanam subur dalam kehidupan
sejak dahulu kala
sebuah kota idaman menerima
anugerah adipura
pesona pagi
gugus merpati terbang
melayang layang
Banjarbaru, 2019
Haisi ( 詩俳句 ) ke - 36
NYANYIAN GUNUNG
Dari puncak gunung Sagaling memancar
kilau Danau Kaca
Langit yang lembayung mengaca di atasnya
Matahari yang bangkit dari lanjung pagi
Menajamkan tutujah di tanah tugal
penyebar benih kemakmuran
Ruh padi mandi cahaya matahari
Gunung Sagaling telah melahirkan danau
impian rahim batu pancur tiga belas
Lahir di negri
sendiri. Negri yang mesti dipertahankan. Tersebab ini batas terakhir dari tanah pusaka
Tanah kelahiran dimandikan nenek moyang
di Danau Kaca
Pepohonan para di kanan kiri lereng
gunung, apakah kau dengar bunyi letupan itu manakala sengatan panas setiap
luruh buahnya ?
Suara hati nurani anak negri itu
mengalir di arus sungai Batu Benawa sampai ke muara maha cinta
Aku menatap puncak Gunung Sagaling mata
berlinang lantaran kenangan dendam rindu
di masa kanak
Di atas
pelana kuda lapisan hevea, aku melantunkan dendang anak negri si Gunung
Layuh
Menurun dan menyisir anak sungai menuju
kampung Libaru
Kecipak air langkah kaki kuda jingga.
Meniti dan melompati batu batu dan tanah lumpur
Ringkik kuda pada jalan persimpangan bertemu kuda kuda
lainnya. Jalan beriring.
Dan
aku tidak mendengar ringkik kuda lagi sebab gunung telah berganti rupa
ketika aku menatap ke puncaknya
Aku tidak menemukan pohon luwa lagi yang
tumbuh di pinggir sungai tetapi rumah yang berjubel. Sebab pohon dan sungai itu
teman bermain di masa kanak
Kala senja kudengar walau hanya lamat
lamatan suara kungaguk di pinggir sungai yang mirip guntung di lembah sunyi,
membelah kota. Suara yang membuka riwayat pintu malam
Mengharum bunga bunga anggrek merpati di
pohon mahoni setiap tepi jalan
Angin pagi pegunungan Meratus mengurai
kenangan masa kanak
Di tepi lapangan Dewi Warna kembali aku
bernyanyi :
kota Barabai
bertirai embun pagi
Bandung Borneo
Banjarbaru, 2019
Haisi ( 詩俳句 ) ke - 37
KHABAR DARI SUNGAI
Menyisir sungai Batu Benawa, di rantauan burung berbunyi
Jukung jukung baampah kapahumaan dan
meramu manisnya humbut bangkala
Sungai yang mengalirkan riwayat banyu
mata Diang Ingsun
Tebing batu batu yang meriwayatkan
kuciak Raden Panganten
Sungai terus mengalir. Mengalir kesegenap sudut hati anak negri
Yang terus mencintai tanah banyu tempat
yang melahirkan kita
Jukung berkayuh di rantauan. Dundang pengayuh mengalun di antara burung
berbunyi
nyanyian burung
membuka pintu pagi
jukung berkayuh
Yulan ya lalalin. Derai dedaunan pohon luwa sepanjang tepi
sungai mengingatkan pada kita
Sungai adalah pusaka nenek moyang yang
mesti kita jaga kita pelihara sepanjang masa
Dundang jukung berkayuh di tengah
rantauan menyisir lubuk hati anak negri yang bauntung batuah
Yulan ya lalalin. Gugus ilung yang
merekahkan bunga yang paling biru sebab air yang bening dan jenih
Bulan yang becermin di atasnya galuh bungas yang maambun pupur
membaca mantra pekasih
Angin yang berhembus dari pegunungan
Meratus jadi kepayang. Duhai eloknya tanah banyu
Di tengah rantauan itu berkayuh jukung
seorang labai perantau dari negri cina
Angin yang berhembus lembut melayangkan
nyanyian chunchiu. Yulan ya lalalin
Menyisir sepanjang sungai Batu Benawa
dan bertanya ini negri apa gerangan sungguh elok
Orang yang
berada di tepi sungai yang sedang
membuat bara api
“ Bara Bai ai
“. Orang itu menyangka apa yang sedang
dikerjakan
Labai itu tersenyum lalu bergumam “
Barabai”
Labai itu terus berkayuh sampai ke muara
Pulau Tatas
Eksplorasi perjalanan yang berkesan
melekat di hati dan di daun lidah
Hidup dan kehidupan terus berkayuh
dimana rantau zaman yang terus berkembang
Dundang rantauan itu tak pernah bersudah
selama bumi berputar pada porosnya
Dundang ya dundang alahai sayang :
asal muasal
nama kota Barabai
Bandung Borneo
Banjarbaru, 2019
Haisi ( 詩俳句 ) ke - 38
membaca alam
di dalam keheningan
lengsernya senja
Fana
Alir nadi setiap tapak melangkah
serupa gemercik air guntung yang
mengalir di bebatuan pada sebuah hutan
yang tinggal serumpun halaban
Dan nafas
serupa angin di padang ilalang
semua fana
apa yang dibanggakan
ruang yang gelap
Malam memberi jendela kaca yang menjadi
cermin setiap pagi tiba
cermin dari perjalanan usia yang semakin
renta
Mana kala merenung langit
Bulan yang jatuh di ujung ranting
Sungguh membangun rumah masa depan
memerlukan keyakinan yang teguh
malam tafakur
tenggelam di sajadah
menyusur kiblat
Menyusur cahayamu setiap melafal takbir
pada ayat ayat yang menghampar menuju
rumahmu
menghampar di puncak menara hati
Dan suatu malam :
musafir itu
menutup kamar hening
di batas malam
Banjarbaru, 2020
Haisi ( 詩俳句 ) ke - 39.
di daun lalang
seekor capung merah
angin semilir
Berayun ayun
melahirkan rindu pada sebuah dusun
tempat di mana dilahirkan
Di kala kanak
mencari buah karamunting memetik buah kuranji
bermain ayunan di bawah rumah adat rumah
bubungan tinggi
dan pada sebuah dangau nikmat semilir
angin
di hari teduh
angin membelai padi
makan di dangau
Angin semilir
Nun sesayup lenguh kerbau di hamparan sawah dan puput seruling bambu
menjadikan
mata kilir kiliran si banyu mata :
dundang
tiup api di gunung ledang api ditiup lah
sayang
sayang api ke mana bertiup asapnya ya
dundang
hati dandaman kemana jua mencari obatnya
obatnya si jantung hati
Capung merah itu terbang melayang meniti
angin meniti ke mana terbang kembang ilalang
meniti di mana suara riak alir air sebuah
anak sungai yang membelah lembah
Capung itu lalu entah ke mana
Dan lelaki itu
Membawa
kesumat rindu menapak jalan setapak :
air pancuran
mencuci debu kalbu
di beduk petang
Banjarbaru, 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar